Blogger Templates

Senin, 29 April 2013

Hukum Perikatan



NAMA                  :               WIDYA AYU NURHAYATI
NPM                      :               27211386
KELAS                    :               2EB24

TUGAS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
BAB 4

HUKUM PERIKATAN

PENGERTIAN
Perikatan dalam bahsa belanda disebut “Verbintenis” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian” ,sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan.
Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberikan hak pada yang satu untuk menuntut barang sessuatu dari orang lain, sedangkan orang yang laiinya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut adalah “kreditur” ,sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak “debitur”. Adapun barang yang dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa :
1.       Menyerahkan suatu barang
2.       Melakukan suatu perbuatan
3.       Tidak melakukan suatu perbuatan

DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.       Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
definisi perjanjian secara epistimologi adalah arrobt(u)atau perikatan, dan secara etimologi; kesepakatan kedua belah pihak atau lebih untuk melakukansesuatu hal yang telah disepakati. Dan syarat syahnya perjanjian harus adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, jadi di dalam isi perjanjian, kedua belah pihak harus saling mengetahui maksud dari perjanjian tersebut, dan tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak saja. Dan syarat yang lainnya, adanya obyek yang halal, yang tidak melanggar undang-undang dan norma-norma kehidupan di masyarakat. Dan sumber tidak adanya perjanjian dapat dibagi menjadi; pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian, memperkaya diri tanpa alasan, dan undang-undang.
2.       Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen).

AZAS-AZAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
 Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
 Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
 Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

WANPRESTASI DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Apabila orang yang berhutang “debitur” tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannyna, maka dikatakan bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan “wanprestasi’ berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 macam, yaitu:
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Akibat-akibat Wanprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
 Ganti rugi sering diperinci meliputi 3 unsur, yakni:
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
 Peralihan Risiko
 Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu  peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

HAPUSNYA PERIKATAN
Hapusnya 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan 10 cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut, yaitu:
1.       Pembayaran
Pembayaran dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arrti yang sangat luas, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualpun membayar jika ia menyerahkan barang yang dijualnya.
Pembayaran harus dilakukan kepada pihak kreditur atau kepada pihak yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran bagi pihak kreditur.
2.       Penawaran Pembayaran Tunai diikuti dengan Penyimpanan Penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila pihak kreditur menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut, barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaries atau seorang juru sita pengadilan.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpankan atau dititipkan kepada panitera Pengadilan Negeri dengan demikian hapuslah hutang-piutang itu. Barang atau uang tersebut berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari hutangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.
3.       Pembaharuan Hutang atau Novasi
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Menurut pasal 1431 kitab undang-undang hukum perdata ada # macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang, yaitu:
Novasi Obyektif
Apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orangbyang akan menghutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
Novasi Subyektif Pasif
Apabila seorang berhutang baru ditunjukan untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.
Novasi Subyektif Aktif
Apabila sebagai akibt dari suatu perjanjian baru seorang kreditur bru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.
4.       Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-piutang secara timbale balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berhutang satu sama lain maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah yang diterangkan oleh pasal 1424 Kitab Undang-undang Hukum Peerdata.
 Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
 Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
5.       Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai pihak kreditur dan pihak debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana hutang piutang itu dihapuskan.
Percampuran hutang yang terjadi pada pihak debitur utama berlaku juga untuk keuntungan penanggung hutangnya sebaliknya percampuran yang terjadi pada seorang penanggung hutang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
6.       Pembebasan Hutang
Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
7.       Musnahnya Barang yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, ataun hilang sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu, ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada ditangan kreditur.
8.       Pembatalan
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
9.       Berlakunya Suatu Syarat Batal
Perikatan bersyarat itu adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termasuk itu terjadi. Dalam hal yang kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila peristiwa yang termasuk itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat bata.
10.   Lewatnya waktu
Menurut pasal 1926 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dinamakan “lewat waktu” adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”;
Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.

SUMBER:
F. KATUUK NELTJE, ASPEK HUKUM DALAM BISNIS. UNIVERSITAS GUNADARMA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar