NAMA : WIDYA AYU NURHAYATI
NPM : 27211386
KELAS : 2EB24
TUGAS
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
BAB
4
HUKUM
PERIKATAN
PENGERTIAN
Perikatan dalam bahsa belanda disebut
“Verbintenis” mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian” ,sebab
dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak
bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang
timbul dari perbuatan yang melanggar hukum dan perihal perkataan yang timbul
dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan.
Adapun yang dimaksud dengan “perikatan”
adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang,
yang memberikan hak pada yang satu untuk menuntut barang sessuatu dari orang
lain, sedangkan orang yang laiinya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak
yang berhak menuntut adalah “kreditur” ,sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan dinamakan pihak “debitur”. Adapun barang yang dituntut dinamakan
“prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa :
1.
Menyerahkan suatu barang
2.
Melakukan suatu perbuatan
3.
Tidak melakukan suatu perbuatan
DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP
perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.
Perikatan yang timbul dari
persetujuan (perjanjian)
definisi perjanjian secara epistimologi
adalah arrobt(u)atau perikatan, dan secara etimologi; kesepakatan kedua belah
pihak atau lebih untuk melakukansesuatu hal yang telah disepakati.
Dan syarat syahnya perjanjian harus adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak, jadi di dalam isi perjanjian, kedua belah pihak harus saling
mengetahui maksud dari perjanjian tersebut, dan tidak boleh hanya menguntungkan
satu pihak saja. Dan syarat yang lainnya, adanya obyek yang halal, yang
tidak melanggar undang-undang dan norma-norma kehidupan di
masyarakat. Dan sumber tidak adanya perjanjian dapat dibagi menjadi;
pertanggung jawaban yang timbul karena kelalaian, memperkaya diri tanpa alasan,
dan undang-undang.
2.
Perikatan yang timbul
undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang
dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia.
Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen
toedoen).
AZAS-AZAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur
dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu:
Kata
Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap
untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu
hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal,
artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan
oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
WANPRESTASI DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Apabila orang yang berhutang “debitur”
tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannyna, maka dikatakan bahwa ia
melakukan “wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” atau juga ia melanggar
perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannya. Perkataan “wanprestasi’ berasal dari bahasa Belanda, yang berarti
prestasi yang buruk.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4
macam, yaitu:
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi
tidak sebagaimana dijanjikan
Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukannya
Akibat-akibat Wanprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman
atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yakni:
Membayar Kerugian yang Diderita oleh
Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi 3 unsur, yakni:
Ganti rugi sering diperinci meliputi 3 unsur, yakni:
Biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan
Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
HAPUSNYA PERIKATAN
Hapusnya 1381 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menyebutkan 10 cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut,
yaitu:
1.
Pembayaran
Pembayaran dimaksudkan setiap pemenuhan
perjanjian secara suka rela. Dalam arrti yang sangat luas, tidak saja pihak
pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjualpun membayar jika ia
menyerahkan barang yang dijualnya.
Pembayaran harus dilakukan kepada pihak
kreditur atau kepada pihak yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang
yang dikuasakan hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran bagi
pihak kreditur.
2.
Penawaran Pembayaran Tunai
diikuti dengan Penyimpanan Penitipan
Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus
dilakukan apabila pihak kreditur menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut,
barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang
notaries atau seorang juru sita pengadilan.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan
maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpankan atau dititipkan
kepada panitera Pengadilan Negeri dengan demikian hapuslah hutang-piutang itu.
Barang atau uang tersebut berada dalam simpanan di kepaniteraan Pengadilan
Negeri atas tanggungan atau resiko si berpiutang. Si berhutang sudah bebas dari
hutangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran
pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berhutang.
3.
Pembaharuan Hutang atau Novasi
Novasi adalah suatu persetujuan yang
menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul
perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Menurut pasal 1431 kitab undang-undang
hukum perdata ada # macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang,
yaitu:
Novasi Obyektif
Apabila seorang yang berhutang membuat
suatu perikatan hutang baru guna orangbyang akan menghutangkan kepadanya, yang
menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya.
Novasi Subyektif Pasif
Apabila seorang berhutang baru ditunjukan
untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan
dari perikatannya.
Novasi Subyektif Aktif
Apabila sebagai akibt dari suatu perjanjian
baru seorang kreditur bru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama,
terhadap siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya.
4.
Perjumpaan Hutang atau
Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan hutang dengan
jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang-piutang secara timbale balik
antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berhutang satu sama lain
maka terjadilah antara mereka satu perjumpaan dengan mana antara kedua orang
tersebut dihapuskan, demikianlah yang diterangkan oleh pasal 1424 Kitab
Undang-undang Hukum Peerdata.
Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,-
dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut
dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp.
400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh
Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
Berpokok
sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat
dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat
ditagih seketika.
5.
Percampuran Hutang
Apabila kedudukan sebagai pihak kreditur
dan pihak debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu
percampuran hutang dengan mana hutang piutang itu dihapuskan.
Percampuran hutang yang terjadi pada pihak
debitur utama berlaku juga untuk keuntungan penanggung hutangnya sebaliknya
percampuran yang terjadi pada seorang penanggung hutang tidak sekali-kali
mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
6.
Pembebasan Hutang
Undang-undang tidak memberikan definisi
tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan
hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya
dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja
diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa
pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur.
Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka
pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya
pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti
tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan
menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap
untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan,
maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang
yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2)
pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan
debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung
utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
7.
Musnahnya Barang yang Terhutang
Jika barang tertentu yang menjadi obyek
dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, ataun hilang sedemikian
hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah
perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berhutang
dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai
menyerahkan barang itu, ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat
membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar
kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama
meskipun sudah berada ditangan kreditur.
8.
Pembatalan
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua
hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena
kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan
causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri
adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang
bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan
rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena
perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru
mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut.
Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A
seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan
rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B
belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat
mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan.
Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika
terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum,
ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi
ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika
undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
9.
Berlakunya Suatu Syarat Batal
Perikatan bersyarat itu adalah suatu
perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya
perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan
menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan
dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termasuk itu terjadi. Dalam hal yang
kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan apabila
peristiwa yang termasuk itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir itu
dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat bata.
10.
Lewatnya waktu
Menurut pasal 1926 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, yang dinamakan “lewat waktu” adalah suatu upaya untuk memperoleh
sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat
diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
Lampau waktu untuk memperolah hak milik
atas suatu barang, disebut ”acquisitive prescription”;
Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu
perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”;
Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa
belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah
terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat
dan praktis.
SUMBER:
F. KATUUK NELTJE, ASPEK HUKUM DALAM BISNIS.
UNIVERSITAS GUNADARMA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar